Judul: Bumi Manusia
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Cetakan: 14, Juni 2009
Tebal: 535 halaman
ISBN: 979-97312-3-2
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Cetakan: 14, Juni 2009
Tebal: 535 halaman
ISBN: 979-97312-3-2
“Suatu bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa-raga dan harta benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan”
Generasi muda masa ini banyak sekali yang awam atau tidak mengenali karya-karya sastra contohnya novel klasik yang telah ditulis oleh seorang sastrawan lama. Padahal, banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh oleh mereka apabila mengetahui dan membaca novel klasik tersebut. Contoh manfaatnya adalah bertambahnya wawasan kita mengenai potret sejarah bangsa pada masa penjajahan dan kebangkitan nasional. Salah satu novel klasik yang mengangkat realitas gambaran sejarah pada masa kebangkitan nasional adalah novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer.
Secara etimologis, istilah kata bumi adalah eorthe berasal dari kosakata Inggris Kuno (Old English-Anglo Saxon). Eorthe merupakan kata serapan dari bahasa Indo-European (Jerman Kuno) yang dipersonifikasikan sebagai erde atau erda memiliki arti daratan, permukaan, dasar dan sejenisnya.1 Sementara, istilah kata manusia berasal dari kata manu (Sansekerta) atau mens (Latin) yang memiliki arti berpikir, berakar budi, serta homo (Latin) yang berarti manusia.2
Bumi Manusia adalah sebuah novel karya Pramudya Ananta Toer yang merupakan novel pertama dari Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang menceritakan pergerakan kebangkitan nasional pada awal abad ke-20. Pramudya Ananta Toer adalah seorang sastrawan yang sangat fenomenal. Melalui goresan pena yang tergerak oleh rasa empati tingginya terhadap kondisi bangsa, Pramudya Ananta Toer berhasil menghadirkan karya novel Bumi Manusia yang mampu membawanya berkali-kali dinominasikan sebagai calon penerima nobel sastra. Hingga saat ini, novel Bumi Manusia telah diterbitkan dalam 35 bahasa yang sekaligus dapat mengharumkan bangsa di mata dunia. Bumi Manusia diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh Max Lane pada tahun 1980, ia adalah seorang pegawal Kedubes Australia di Jakarta. Di luar negeri, Tetralogi Buru diterbitkan dengan nama The Buru Quartet.
Pram menampilkan sosok Minke sebagai tokoh utama dalam novel tersebut di mana Minke adalah gambaran realitas dari Tirto Adhi Soerjo seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, serta tokoh perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Novel ini memiliki unsur sejarahnya karena mengangkat biografi RTAS (Raden Tirto Adhi Soerjo), dan beberapa rekaman peristiwa yang terjadi, seperti rekaman pengadilan pribumi Indonesia (Nyai Ontosoroh) melawan suaminya yang seorang keturunan Belanda di Surabaya. Pram menulis novel ini ketika ia masih mendekam di Pulau Buru sebagai tahanan negara. Sebelum novel ini diterbitkan, Pram telah menceritakan kisah dalam novel tersebut kepada sesama teman tahanannya.3
Dalam novel Bumi Manusia, Pram menggambarkan kesenjangan sosial dan krisis identitas antara pribumi, priyayi, dan orang berkulit putih atau (Belanda dan Bangsa Eropa lainnya), dengan menghadirkan sosok Minke seorang priyayi berjiwa revolusioner yang berani melawan ketidakadilan. Selain Minke, hadir sosok Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai wanita pribumi yang memiliki pandangan seorang wanita Eropa, dan Annelies, gadis indo-belanda yang konon kecantikannya melebihi kecantikan Sang Ratu Wilhemnia (Ratu Belanda saat itu). Mereka semua berjuang untuk mendapatkan sebuah kehormatan, mempertahankan hak-haknya sebagai pribumi yang ditindas di bawah hukum pemerintahan Hindia-Belanda.
“Kita kalah, Mak,” bisikku.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”.
Kisah cinta yang mengharu biru mewarnai alur cerita dalam novel ini. Pembaca akan dibuat geram ketika hukum kolonial Belanda dengan kejamnnya memisahkan seorang anak dengan ibunya, dan seorang istri dari suami yang mencintainya, tanpa belas kasihan. Kepiawaian Pram dalam mengekspresikan konflik batin dan kepedihan yang di alami setiap karakter sanggup menyentuh hati pembaca untuk menitikkan air mata haru.
Membaca novel Bumi Manusia dapat mengantarkan kita untuk menengok kembali potret sosial pribumi pada awal abad 20, di mana bangsa kita masih dalam bayang-bayang penjajahan. Dan ketika telah membacanya, kita akan terhenyak untuk segera menyadari dan mensyukuri telah dilahirkan dan hidup di abad sekarang.
Apa yang Bumi Manusia katakan tentang cinta? Ternyata romantis bukan main lho!
“Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini”
“Tak ada cinta muncul mendadak, karena dia anak kebudayaan, bukan batu dari langit.”
"Cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bendungan, bisa mengubah, menghancurkan atau meniadakan, membangun atau menggalang”
3http://id.wikipedia.org/wiki/Tetralogi_Buru
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tuliskan saran dan kritik yang membangun